nyet,
lu dimana ? *message sent*
stasiun kecil, 6
sore aku tiba. Ramai, gerimis dan gelap. Aku duduk di kursi panjang untuk
menunggu. Dingin, bodohnya aku hanya memakai kaos tanpa jaket. Kukeluarkan novel
di tasku untuk membunuh waktu menanti kedatangannya.
“beeek, wooy !!!”
Bukan suara yang
asing, pikirku. Benarkan ! yang aku tunggu datang. Masih sama, helm putih sejak
3 tahun lalu, cara berpakaiannya yang selalu saja terlihat acak-acakan dan,
senyumnya yang sangat bersahabat.
Aku menghampirinya,
memasang senyumku seperti biasanya (yang menurutnya itu adalah senyum anak 5
tahun).
“mau kemana kita bu”
tanyanya
“makan !!!!”
Dia hanya tersenyum
sambil menggelengkan kepalanya. Tapi aku tak peduli reaksinya, aku naik ke
motornya dan kita meninggalkan stasiun kecil, tempat pertemuan kita.
Ada yang berbeda
dengan sikapnya, dan aku harus menyelesaikannya malam ini juga.
Dia membawaku ke
tempat yang cukup asik untuk mengobrol. Entah mungkin kami sama sama berpikiran
yang sama. Menyelesaikannya malam ini. Aku mengeluarkan buku tugas kuliahku. Dan
dia mengeluarkan laptopnya untuk segera mengakhiri Tugas Akhirnya.
Kami terdiam dan
tenggelam dengan tugas kita masing masing. Hingga pelayan datang membawa
pesanan kita, dan kita pun tersadar. Ada yang harus diselesaikan malam ini
juga.
Aku mulai sibuk
dengan makananku. Jujur, saat itu aku sangat lapar. Rentetan rapat dan kuliah
membuatku lupa makan siang. Dia menatapku.
“ aku masih belum
percaya, kenapa bisa kamu orangnya” katanya
Aku tersenyum, “tapi
aku udah tau kalo itu pasti aku” dengan nada jailku. Dan dia hanya tersenyum
dan meminum kopi pesanannya.
“ jadi, jawabannya
masih sama ?” lanjutnya. Aku yang akan memasukkan sesendok nasi goreng ke
mulutku urung melakukannya. Kulihat matanya. Aku tidak ingin jadi musuhnya Tuhan. Ucapku
dalam hati.
“aku nggak bisa”,
jawabku pasrah.
“kenapa ? dia masih
ada ? atau karena kamu temanku ?” kali ini matanya serius. Tapi aku bisa
merasakannya, dia tidak akan marah seperti kejadian lalu.
Aku terdiam. dia
mengambil sebatang rokok, dan menyalakannya. Kali ini aku tidak akan marah
ketika dia menikmati benda kecil membunuh itu. Aku tau dari sikapnya, dia
sedang banyak pikiran. dan dia hanya merokok bila sudah terlalu banyak hal yang
memenuhi pikirannya.
Tiba-tiba dia
mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Headset. Dia menyambungkannya dengan laptop
dan memberikannya kepadaku.
“nih dengerin”
Bila kau sanggup untuk melupakan dia
Biarkan aku hadir dan menata
Ruang hati yang telah tertutup lama
Jika kau
masih ragu untuk menerima
Biarkan
hati kecilmu bicara
Karena
ku yakin kan datang saatnya
Kau jadi
bagian hidupku
Kau jadi bagian hidupku
Takkan
pernah berhenti untuk selalu percaya
Walau
harus menunggu seribu tahun lamanya
Aku mendengarkan
hingga selesai. sesekali mata kita bertemu,dia menatapku. Aku melepas
headsetnya. Bukan lagu asing bagiku. Tapi sampai saat ini aku tidak begitu
peduli dengan liriknya. Dan malam ini aku memahami setiap katanya. It’s like he
talk to me.
Dia tersenyum,
sekali lagi aku melihat senyumnya, senyum itu. Senyum sahabatku. Aku tenang. Melalui
senyum itu aku tau jawabannya. Aku tau kalimat apa yang akan aku sampaikan
kepadanya.
Yaa, dia masih
sahabatku yang selalu mencarikanku jalan keluar saat aku terjebak dalam masalah. Termasuk
kali ini, sekalipun itu masalahku dengannya. Dia masih sama.
“mau jadi apapun
kamu di hidupku, baik itu temen, sahabat, kakak, pacar atau musuh sekalipun,
kamu udah punya porsi sendiri dihati ini. Jalani aja, biarin dia mengalir. Biarin
Allah yang bawa semuanya. Kalau memang buat aku dan buat kamu, kita nggak akan
disuruh kemana mana lagi. Menyatu nggak harus dengan suatu ikatan. Cukup batin
yang terekat kuat. Kamu, untuk aku apapun itu”.
Dia tersenyum
mendengar jawabanku. Aku lega. Ya, kami sama sama dewasa. Kami tau maksud dari
setiap kata yang keluar dari mulut kami.
Akhirnya aku
menyelesaikannya malam ini juga.
Paginya aku harus
kembali ke kotaku. Dia mengantarkanku ke stasiun. Bukan stasiun tempat kami
bertemu. Tapi ini stasiun terbesar di kotanya. Tidak ada yang berubah, dia
masih sahabatku. Bedanya, sekarang kami lebih tau kemana kami akan berjalan.
Keretaku tiba. Dia membawakanku
satu kantong plastik penuh makanan. Aku mengucapkan terimakasih dan sedikit
berdebat dengannya tentang kereta api. Bukan hal penting tapi itu mampu
membuatku kesal dan dia puas bisa membuatku jengkel.
Dia mengusap
kepalaku
“ati ati pulangnya,
jangan ketiduran nanti bablas”
Aku tersenyum, ini
waktuku pulang. Sebelum menuju pemeriksaan tiket, aku melontarkan sebuah
pertanyaan kecil padanya.
“kenapa harga
makanan di stasiun itu mahal ?”
“pajaknya tinggi ?”
aku menggelengkan kepala sambil meninggalkannya dengan muka penasarannya.
Aku masuk kereta,
menempati kursiku dan kereta berjalan meninggalkan stasiun.
*message received* jadi kenapa harga makanan di stasiun mahal ?
Stasiun itu tempat dimana semua barang menjadi mahal, karena itu sesuai dengan
tempatnya, tempat pertemuan dan perpisahan. Berapa harga sebuah pertemuan dari
waktu yang terlalu lama dilewatkan bersama ? dan berapa harga sebuah perpisahan dari waktu
pertemuan yang begitu singkat ? harga barang yang dijual disana cukup mewakili bagaimana mahalnya harga sebuah pertemuan dan perpisahan. Dan aku
puas dengan semua yang aku dapat meskipun harus membayar mahal dari pertemuan denganmu ini.
*message sent*